Tentang AHa!?

Saya yakin Anda pernah bingung, panik karna belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada di benak Anda.

Dan tiba-tiba tercetuslah jawaban/ide.
Anda berteriak "AHa!?".
Itulah moment "AHa" Anda.
"AHa" adalah keterkejutan yg nikmat.

Semakin banyak "AHa" semakin baik. Artinya, Anda adalah pemikir kreatif yang produktif.

Ada yang menemukan "AHa"nya melalui lamunan, permenungan/dalam diam, melalui suasana yang hiruk-pikuk/di tengah keramaian.
Jadi, momentum "AHa" itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja.

Saya bisa menemukan momentum "AHa" di mana saja. Ada yang ketemu saat baca buku/email/majalah/iklan, browsing internet,ikut milis, dengar radio, ngobrol, ikut seminar, nonton tv/film, JJS, dengar musik, menguping pembicaraan orang lain, mandi, menyetir, dsb. Yang jelas, banyak banget.

Anda pun tentunya punya banyak momentum "AHa" seperti saya. Temukan sebanyak mungkin "AHa" Anda. Pasang mata, pasang kuping. Jadilah orang yang peka untuk menangkap momentum "AHa" ini. Bergeraklah, jangan diam saja. Lakukan sesuatu.
Jadikan itu pembuka jalan untuk sukses Anda.

Esensi Ibadah by Franky Sihombing

Di Jakarta ada gempuran - gempuran paradigma – dan ternyata sulit sekali mengubah paradigma, yaitu dari paradigma kebaktian menjadi paradigma kehidupan. Ibadah yang sesungguhnya BUKAN kebaktian. Ibadah yang sesungguhnya adalah kehidupan. Saya akan melengkapi dari sudut pandang yang lain tentang esensi ibadah
1 Timotius 3:16 “Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: Dia, yang telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diriNya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.”
Alkitab menyinggung masalah agungnya rahasia ibadah. Setelah kami saling sharing dalam masalah ibadah yang esensi / yang sesungguhnya, ada banyak orang yang tidak siap dengan hal ini. Mereka sudah sangat menikmati pola - pola lama, pola - pola yang punya sisi hiburan, sisi - sisi liturgi / kebiasaan, yang sebenarnya kalau kita mau cek / gali, mereka kebanyakan berkata begini, “Bosen.” Mereka udah capek dengan tiga lagu pelan, tiga lagu cepet, satu lagu pelan lagi yang diulang endingnya, lalu disambung dengan, “haleluya, mari kita menyembah Tuhan,” dan berputar-putar dengan haleluya - haleluya lagi, mari berbahasa roh... dst. Tidak ada sesuatu yang berubah. Tidak ada passion di dalamnya, tidak ada spontanitas. Kita kehilangan itu dalam ibadah. Yang ada hanyalah tata cara / liturgi / kebiasaan – seperti kaset yang diputar. Kita tahu apa yang terjadi dalam ‘ibadah’ (kebaktian). Teman saya pernah bilang, “tidur saja di rumah, lihat jam dinding, kita tahu persis apa yang terjadi di gereja.” Dari tahun ke tahun, itu aja yang terjadi di gereja. Sementara di luar sana, dunia selalu keluar dengan sesuatu yang baru, dunia selalu memperlihatkan sesuatu yang kreatif, yang membuat kita selalu tercengang / merasakan hal-hal yang baru. Gereja kehilangan kreativitas dan spontanitas. Waktu kita memiliki sesuatu yang baru, pemimpin kita akan berkata, “Sesat. Jangan ubah – ubah. Biarkan yang ada tetap ada.” Tapi sebenarnya jemaat yang di dalamnya sudah tidak bisa menikmati lagi.
Alkitab berkata, sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita. Agung punya pengertian “maha, dahsyat, sangat luar biasa.” Jadi ibadah itu sebenarnya sangat luar biasa. Dalam seminar – seminar biasanya kita melihat sesuatu yang luar biasa. Tapi begitu kembali ke gereja lokal, kita sering kembali merasa segalanya biasa – biasa saja. Kalau ditanya, dari mana? ‘Dari kebaktian.’ “Ada apa?” ‘Yah, tidak ada apa-apa. Biasa aja. Nyanyi - nyanyi, lalu dikompasin (disodorin kantong kolekte  ), setelah itu ada pendeta khotbah, pengumuman2.’ Bertahun-tahun seperti itu. Agung apaan?
Sesungguhnya agunglah ibadah kita. Ibadah adalah gaya hidup ilahi. Sesungguhnya agunglah rahasia kehidupan ilahi (= ibadah) kita.

Ada 4 hal rahasia dalam ibadah:
1. Dia yang menyatakan diriNya dalam rupa manusia.
Saya lahir di keluarga pantekosta. Lagu yang paling kami sering nyanyikan “Api Pantekosta” atau “Mendidih di Hati.” Kadang bisa sampai 60 kali kata “mendidih” diulang. Semangat banget. Di rumah kami diajarkan tentang asas -asas kekristenan dengan sangat radikal sekali. Harus baca dan hapal ayat – ayat Alkitab. Minggu pagi kami sudah diajar untuk sangat menghormati hari Sabat / kebaktian / ibadah. Diajarin memberi perpuluhan. Uang dibagi, yang ini untuk jajan, yang itu untuk persembahan, jangan diganggu gugat, dsb. Tapi kemudian dari ajaran-ajaran itu semua, kami punya paradigma bahwa ibadah adalah kebaktian di hari Minggu atau bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang terjadi di gedung gereja. Paradigma itu hidup selama berbelas-belas tahun dalam hidup kita. Sampai kita ke ayat 1 Timotius 3:16 ini. (Firman berkata bahwa pada mulanya adalah firman, firman itu bersama-sama dengan Allah, dan firman itu adalah Allah). Ganti kata ‘Dia’ di ayat itu dengan kata firman, maka ibadah akan berarti seperti ini, “firman yang telah menyatakan diri / menjadi nyata / menjadi realita dalam rupa / kehidupan manusia.” Apa yang membuat kita capek di gereja? Sederhana. Kita tidak pernah melihat firman yang menjadi kehidupan di dalam manusia. Padahal ibadah adalah pada saat kita bisa menikmati firman lewat kehidupan manusia.
Masih ingat tentang kisah gambar Yesus di tembok rumah di Jalan Keramat? Saudara lihat betapa bersukacitanya orang Kristen? Itu bodoh. Mengapa muka Yesus yang ada di tembok? Padahal kalau orang melihat Yesus, bukan di tembok, dong. Harusnya Yesus dilihat di dalam diri saya dan saudara. Yang bego, bikin kebaktian, lagi di situ. Apa bukan penyembahan berhala itu, sampai nangis - nangis segala. Kampungan banget. Yesus pasti punya rencana menampakkan gambarNya di jalan Keramat. Yang jelas bukan untuk membuat rumah itu menjadi objek wisata. Tuhan Yesus mungkin ingin berhadapan dengan yang punya rumah atau orang-orang yang ada di sekitar situ. Bukan untuk jadi tempat wisata, orang – orang dateng, bikin kebaktian, doa puasa, sambil lihat gambar Yesus di tembok. Kalau saya jadi Tuhan, saya akan bilang, “kurang ajar semua ini kamu. Waktu Aku di dalam hatimu, kamu nggak ngapa-ngapain, buat dosa terus, tapi begitu Saya ada di tembok, kamu panik.”
Bagian tersulit dari firman Tuhan, bukan mendengarkannya, karena kita selalu punya waktu untuk datang mendengar firman Tuhan, terutama di hari-hari ‘sakti’ (Minggu). Di hari ‘Sakti’ itu kita biasa datang ke gedung gereja mendengarkan firman. Sebagian orang berpikir, ibadah adalah mendengarkan firman Tuhan. Mendengarkan adalah bagian termudah. Ternyata ada bagian tersulit, yaitu melakukan firman Allah. Itu yang sebenarnya Tuhan mau. Firman Allah menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Di kebaktian seringnya kita bilang “yes, amen,” tapi tidak pernah melakukan firman. Inilah yang dunia nantikan: Firman Allah menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Dunia tidak haus khotbah. Dunia tidak haus selebriti rohani. Dunia haus akan kebenaran yang menjadi nyata dalam hidup manusia. Itulah ibadah.

2. Dibenarkan di dalam Roh.
Ibadah adalah hidup yang dibenarkan di dalam Roh. Ibadah adalah hidup yang menjadi benar, karena dipimpin oleh Roh. Percayalah, kalau kita tidak pernah dipimpin oleh Roh, hidup kita tidak akan pernah menjadi benar. Alasannya sederhana. Dia adalah Allah yang tahu segala sesuatu, Dialah Allah yang Alfa dan yang Omega, dari awal sampai akhir, Dia merencanakan segala sesuatu dalam hidup saudara secara sempurna, dan jangan lupa, Dialah yang menyempurnakan hidup saudara dan saya dalam perjalan kehidupan kekristenan. Jadi tanpa pimpinan Roh Kudus, kita tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan kehidupan, karena kita ini tidak punya pengetahuan apapun. Kristus yang ada di dalam kitalah yang punya pengetahuan akan segala sesuatu. Dipimpin oleh Roh Kudus bukan suatu hal yang mudah, karena itu berarti kita berkata seperti Paulus, hidupku bukannya aku lagi tetapi Kristus yang ada di dalamku. Hidup kita akan diwarnai oleh keputusan - keputusan yang datang dari Takhta-Nya, bukan datang dari pribadi kita sendiri. Itu tidak gampang. Untuk orang – orang yang tidak haus pencapaian, mungkin tidak terlalu sulit. Kalau udah begini, ya emang mau diapain. Tapi untuk orang - orang yang sangat pintar / kaya, sulit untuk masuk dalam tuntunan Roh Kudus. Kenapa? Karena kebanyakan orang - orang yang berada dalam area nyaman, mereka sudah merasa tidak terlalu butuh pertolongan Tuhan.
Kalau sudah berbicara tentang keputusan - keputusan, kita jadi sangat kafir – tanpa sadar, kita tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Alkitab mengatakan, hidup kita menjadi benar oleh pimpinan Roh Kudus. Allah punya gelar ‘Maha Tahu’ (Mazmur 139:16 – hari-hari hidup kita sudah ditulis di bukunya Tuhan. Tuhan sudah membuat skenario hidup kita). Apa yang bisa membuat hidup kita dan skenario dari Tuhan bisa sama adalah kalau kita minta dipimpin atau dituntun. Untuk itu dibutuhkan komunikasi dari hari ke hari.
Pernahkah saudara berpikir mengapa Adam ada di taman Eden? Kalau saya jadi Tuhan, saya akan buat Taman Eden sedemikian aman supaya tidak ada sesuatupun yang mengganggu hubungan Tuhan dengan Adam tapi toh Tuhan menempatkan satu pohon yang menjadikan taman Eden sedemikian kurang aman. Ngapain Tuhan menempatkan satu pohon yang buahnya tidak boleh dimakan oleh Adam? Tuhan mengatakan kalau kamu makan buah itu, kamu akan mati. Ini kan berarti Tuhan membuat kemungkinan Adam bisa berbuat sesuatu yang salah di mata Tuhan yaitu kalau dia makan buah itu. Yesus punya skenario yang sangat matang. Yang Tuhan inginkan adalah kehidupan yang terjalin, bukan hubungan robot. Dia sengaja menaruh pohon itu supaya nantinya Adam tetap punya komunikasi dengan Tuhan. Karena begini. Pada saat kamu memakan buah ini kamu akan mati, bukan secara fisik. Iblis bilang begini, “kamu tidak akan mati, kamu cuma akan tahu yang baik dan yang jahat.” Kenapa Tuhan tidak mau Adam makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat? Karena pengetahuan akan membuat manusia kehilangan komunikasi dengan Tuhan. Udah tahu, ngapain perlu komunikasi? Apa yang membuat kita bertanya kepada seseorang? Ketidaktahuan. Apa yang membuat kita berpikir tidak perlu bertanya? Pengetahuan. Tuhan menginginkan sebuah hubungan yang sangat dekat dan komunikasi. Tuntunan datang dari komunikasi. Ngawur untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa bicara dengan kita. Tuhan hidup. Manusia makhluk hidup. Setiap makhluk hidup pasti bisa berkomunikasi.
Kemungkinan besar, banyak konflik / problem yang kita alami sehari-hari adalah produk / hasil hidup kita yang tidak dipimpin oleh Tuhan. Keputusan yang kita ambil sendiri sering membuahkan konflik. Coba kita tunggu Tuhan memutuskan buat kita. Tuhan tahu yang terbaik buat kita kan? Saya sering bilang, Tuhan itu Maha Tahu, tapi kita Sok Tahu.
Kita akan diberikan kepekaan untuk mendengar tuntunannya. Tuntunannya berupa suara yang lembut, yang keluar dari hati nurani saudara. Kalau keputusan diambil tanpa tuntunan Tuhan, ada perasaan tidak enak di hati. Tuhan tertarik untuk dilibatkan dalam setiap aspek kehidupan saudara, bahkan untuk dilibatkan dalam hal-hal yang sangat sederhana.

3. Allah yang menyatakan diriNya di hadapan malaikat-malaikat  Keintiman dengan Allah dalam penyembahan.
Waktu Allah menyatakan diriNya di hadapan malaikat-malaikat, malaikat-malaikat itu akan sujud menyembah kepadaNya. Jadi esensi ibadah yang ketiga adalah penyembahan. Kalau kita pelajari lebih dalam, pujian dan penyembahan bukan hanya diekspresikan dengan lagu-lagu. Tarian itu ekspresi penyembahan. Bersorak-sorai itu juga penyembahan. Tidak perlu alat musik. Waktu bangun pagi dan kita berteriak, “Tuhan, Engkau dahsyat!” itupun penyembahan. Penyembahan dalam roh sering ditafsirkan menyembah dalam roh. Siapa yang ngajarin? Itu pelajaran tempo doeloe yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam paradigma yang baru. Menyembah dalam roh pengertiannya adalah menyembah dalam tuntunan roh. Bisa jadi Roh menuntun kita untuk berbahasa roh. Tapi itu bukan satu-satunya menyembah dalam roh. Jadi waktu Roh menuntun kita untuk berdiam diri, itupun menyembah dalam Roh. Menyembah dalam bahasa aslinya berarti mencium (Proskuneo). Harusnya dari bahasanya saja kita tahu bahwa penyembahan bukan cuma sekedar ekspresi fisik, tapi lebih kepada sikap hati. Pernah membayangkan mencium? Mencium adalah sebuah ekspresi termahal; paling private / pribadi. Kita tidak sembarangan memberikan ciuman. Kalau sembarangan itu berarti anda terlalu murah. Ciuman hanya kita berikan pada seorang pribadi yang sangat istimewa bagi kita. Jadi penyembahan berbicara tentang seberapa istimewanya / dekatnya kita dengan Yesus. Kalau nggak, sori, itu cuma akting doang. Kadang - kadang kita terjebak dengan semangat, karena musiknya bagus, karena melihat anak-anak muda yang dipakai Tuhan, band-nya keren, sound systemnya cool, jadi semangat, seolah-olah kita tenggelam di dalam hadirat Tuhan. Tunggu dulu. Hadiratnya siapa itu? Hadirat band. Penyembahan sifatnya sangat pribadi. Hanya antara kita dengan Allah. Penyembahan juga punya sifat dua arah. Saya menyatakan rasa cinta saya kepada Yesus, pada saat yang sama, Yesus menyatakan rasa cintaNya pada saya. Saya memeluk Tuhan dalam penyembahan, Tuhan juga memeluk saya. Saya mencium Tuhan dalam hadiratNya, Tuhan mencium saya dalam hadiratNya. Dua arah sifatnya. Sering dulu kita menyembah sambil berteriak, “Tuhan, puaskan saya.” Sebenarnya Tuhan juga sedang berkata, “Puaskan Aku juga!” Tuhan dipuaskan dengan penyembahan, dengan ciuman penyembahannya kita. Harusnya keintiman dengan Tuhan ini adalah sebuah kehidupan, bukan liturgi / kebiasan / tradisi / metode yang diulang-ulang.

Menurut saya ada 2 hal penting dalam penyembahan yang sudah tersirat dari penjelasan saya tadi:
(1) kreativitas
(2) spontanitas.
Dua hal ini yang bisa berguna untuk mengecek apakah kita sudah menyembah dengan benar atau belum. Sebenarnya ada satu hal lagi yang penting dalam penyembahan: ada nilai romantisme di dalamnya. Menggambarkan sebuah robot mencium itu susah. Jangan lupa, Tuhan Yesus akan menjemput kita nanti sebagai mempelai.

4. Diberitakan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah  Penginjilan
Penginjilan adalah ibadah. Penginjilan sangat berkaitan dengan misi. Misi pasti bicara tentang jiwa-jiwa. Kita semua punya tujuan yang sama: jiwa-jiwa, bukan denominasi. Menginjil adalah sebuah karunia [jawatan], tapi saya yakin setiap orang percaya punya kapasitas / dipanggil untuk menginjil. Menginjil bukan berkhotbah. Tidak semua orang bisa berkhotbah. Menginjil sebetulnya menceritakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana sekali. Waktu Yesus di dunia, Ia menceritakan Bapa dan rencana-rencanaNya dalam hidup sehari-hari. Yesus nggak banyak ngomong. Yesus banyak melakukan. Itu bedanya Yesus dengan kita. Kita kebanyakan ngomong. Dalam Matius, Markus, Lukas, Yohanes, lebih banyak diceritakan apa yang dilakukan Yesus daripada apa yang dikhotbahkan Yesus. Inilah yang Yesus inginkan dalam penginjilan kita: lebih banyak bertindak daripada berkhotbah. Cerminkan Kristus dan itulah penginjilan yang terbaik. Warna yang paling kentara dalam penginjilan oleh Yesus adalah nilai sacrifice (pengorbanan). Di manapun anda berada / bekerja, coba investasikan nilai berkorban dalam hubunganmu. Kalau nggak ada nilai dalam berkorban dalam hubunganmu, jangan ngomong penginjilan. Kalau ngomong tentang berkorban, pasti ada yang sakit. Namanya saja berkorban. Tapi bukan berarti korban konyol yang tidak berhikmat. Ketemu orang pakai serban, “Bapak harus percaya pada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat,” ... ya ditonjok! “Wah, saya berkorban,” kamu bilang. “Bukan,” Roh Kudus bilang, “kamu bego.” Kalau dalam hati saudara ada dorongan untuk memberitakan kabar baik, lakukanlah dengan cara yang halus dan bijaksana. Minta Roh Kudus menuntun kita berkata-kata. Kalau kamu selalu ketemu dengan orang itu, di tempat kerja atau di manapun juga, pakailah cara persahabatan. Kalau pakai cara langsung, maka pertemanan kita akan putus tiba-tiba. Pemberitaan yang langsung / kasar, itu akan membuat tembok buat temen yang kita punya beban buat dia. Jadi pelan-pelan aja. Gaul aja. Membawa orang pada Kristus itu bukan masalah pindah agama, tapi iman. Nilai lain yang harus ada dalam penginjilan adalah: mementingkan orang lain lebih dari dari mementingkan diri sendiri. Penuhi segala kebutuhannya semampu saudara. Dia butuh teman bicara, jadilah teman bicara. Dia butuh tempat pelampiasan uneg - uneg, jadilah tempat pelampiasan uneg - uneg. Dia butuh uang, selama anda mampu, bantulah dia. Masih ingat Yesus memberi makan 5000 orang? Waktu orang - orang itu kelaparan, Yesus tahu kebutuhan mereka bukan berdoa, tetapi makan. Kalau Tuhan pertemukan seseorang, pasti ada maksud. Mungkin dia butuh uang untuk sekolah. Kalau saudara punya uang berlebih, ya berikan kepadanya.

5. Iman
Apakah dari kelima hal di atas ada hubungannya dengan gedung gereja? Pujian dan penyembahan secara musikal? Khotbah seorang pendeta? Ibadah bukan sesuatu yang terjadi di dalam gedung. Ibadah terjadi di luar gedung. Inilah essensi ibadah. Anda tidak akan repot dengan latihan - latihan band, dengan susunan acara. Ibadah adalah kehidupan yang terus menerus mengalir dalam komunitas. Ibadah adalah suatu hal yang sangat dinanti-nantikan oleh dunia.

Kelahiran Yesus (Semangat Natal) membawa sukacita dan memberikan kekuatan menghadapi resiko dan ujian kehidupan.

Para majus dari timur, adalah orang – orang yang berani ambil resiko untuk menjumpai Raja yang baru lahir hanya dengan melihat bintang. Banyak resiko yang mereka harus tanggung, mereka harus melewati jarak yang jauh, dan merasakan ganasnya padang pasir, dimana siang hari suhu bisa mencapai 40 derajat sementara dimalam hari suhu bisa sedemikian dingin hingga mencapai 5 derajat. Belum lagi saat mereka tidak mau memberitahukan perihal kelahiran Yesus kepada Herodes, kemudian mereka dikejar dan akan dibunuh. Kalau mereka tak berani ambil resiko, dunia tidak akan pernah menulis dan menyebut mereka pada majus dari Timur, dan mereka tak akan pernah merasakan pengalaman yang luar biasa melihat sang Mesias. Kelahiran Yesus diwarnai dengan ujian kesetiaan dan ketaatan Yusuf juga pada negara untuk sensus dan Maria untuk mengandung bayi Yesus, ujian penderitaan berjalan jauh dalam keadaan hamil dan kemudian bayi Yesus yang dicari pasukan Herodes dan kisah pembantaian anak-anak yang mengiringinya. Meski Dia Allah yang telah rela lahir dalam kesederhanaan semestinya Dia masih bisa memilih skenario untuk lahir di tempat yang dalam kondisi aman dan nyaman.

Natal & HAM

Tidak berlebihan (khususnya bagi Indonesia) bila bulan Desember dimaknai sebagai bulan kemanusiaan. Diawali hari AIDS sedunia, kemudian disusul hari Pahlawan tanpa tanda jasa Nasional, setelah itu hari HAM -Hak Asasi Manusia- sedunia (di Indonesia juga ada penganugerahan Yap Thiam Hien Award), tak berapa lama kemudian hari Buruh Migran sedunia, lalu hari Ibu. Ditengah semua peringatan dan perayaan tersebut, nuansa Natal juga menggema, karena ada yang telah, ada yang sedang dan ada yang akan merayakan Natal (tidak semua umat merayakan Natal pada tanggal 25 Desember).

Yoh 3:16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Allah adalah (being) kasih, sehingga Ia (telah) mengaruniakan (doing) AnakNya.

Keselamatan adalah ide/inisiatif, pemberian/anugerah Allah.

Dunia dapat diartikan/dipandang secara politik, geografis. Bagaimana Allah memandang dunia ini? Ketika Ia melihat dunia, Ia sedang memandang manusia (setiap orang). Jesus comes to you (and) comes to me.

Allah tidak kepalang tanggung/tidak perhitungan mengasihi manusia, Allah lahir/datang ke dunia memiliki tujuan dan hanya sebuah tujuan untuk menyelamatkan manusia/setiap manusia tidak binasa. Allah tidak pandang bulu, jadi tidak seorangpun atau sekelompok orang pun yang berhak memonopoli Allah.

HAM bertitik pangkal pada kesadaran bahwa setiap orang berharga, berbeda satu sama lainnya. Dengan kata lain, adalah kesadaran mengenai keanekaragaman, pluralitas. Berbeda tanpa membedakan itulah semangat inti HAM. Dengan semangat tersebut dirajutlah kehidupan berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan. Inilah titik temu Natal dan HAM.

Natal itu berarti Allah mendatangi semua orang tanpa terkecuali.

-- inspirasi dari tulisan : Pdt Simon Filantropha, Esai Natal: Natal dan HAM, Jawa Pos 25 Desember 2004, hal.1 --

Kado Natal 2

Di segmen berikutnya, ada seorang anak kecil yang berperan sebagai gembala meletakkan sebuah boneka bayi di palungan bersama sebuah boneka lain yang melambangkan bayi Yesus. Seketika itu teman-temannya bertanya kepada anak kecil tersebut, "Mengapa engkau letakkan sebuah bayi lagi di palungan ini? Bukankah seharusnya hanya ada bayi Yesus saja?" Anak kecil ini dengan lugu menjelaskan, " Saya ingin memberikan hadiah buat Yesus. Tapi aku tidak punya apa-apa. Aku tidak punya uang untuk beli kado. Aku tidak tidak punya mainan. Aku tidak punya sesuatu. Lalu aku berkata pada bayi Yesus, aku tidak punya apa-apa, tetapi aku bisa menemanimu, dan menghangatkanMu. Dan rasanya Yesus tidak keberatan jika aku bersamaNya dalam satu palungan menemani dan menghangatkanNya"

Semangat untuk memberi pada hari Natal biasanya diungkapkan banyak umat di beragam dunia dengan tradisi saling memberi kado. Saudara dapat memberi tanpa mengasihi, tetapi Saudara tidak dapat mengasihi tanpa memberi. Namun, sesungguhnya "bayi Yesus" tidak hanya menginginkan para pengikutNya sekedar memberi kado atau parcel yang bernilai beberapa ribu, bahkan jutaan untuk relasi bisnis. Kadangkala natal bagi Kristen tak lebih dari sebuah pesta tahunan yang sarat dengan kemewahan, penuh gebyar dan semarak. Lupa bahwa Natal harusnya menyentuh relung hati kita, "Apakah yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan?" Uang untuk menutup anggaran ibadah (pesta) natal, lalu apa gunanya menjadi donatur terbesar yang membuat orang berdecak kagum karena sumbangan kita sementara ada orang yang samp Natal dengan hura – hura. Bandingkan dengan para majus yang memiliki tekad yang kuat untuk mempersembahkan mas, kemenyan dan mur. Para gembala mempersembaai meninggal gara-gara mengantri dana kompensasi BBM? Kesibukan mempersiapkan, merancang acara yang spektakuler yang menyita banyak waktu kita? Di tengah kondisi bangsa seperti ini, alangkah keji, biadab dan egosentrisnya kita jika kita menggelar pestahkan ketaatannya untuk datang dan menyembah. Ia lebih suka kita mempersembahkan hidup kita kepadaNya (Rom 12:1)

-- cerita ilustrasi diambil dari : renungan harian dan bonus handbook "Spirit" edisi Desember 2005, karangan Petrus Kwik, Solo --

Kado Natal 1

Seorang anak kecil yang sebut saja bernama Dave yang memerankan sebagai pemilik penginapan dalam sebuah pementasan drama Natal. Sutradara pementasan drama tersebut telah melatih Dave untuk bersikap tegas dan keras saat menjadi pemilik penginapan. Meski hanya dalam drama, Dave menghayati perannya itu. Ketika saat pementasan tiba, terlihat Yusuf menggandeng Maria yang kepayahan karena hamil tua. Mereka pergi dari satu penginapan ke penginapan lain, karena tidak ada tempat baginya untuk bersalin.

Ketika Yusuf sekali lagi mengetuk pintu penginapan, Dave yang berperan sebagai pemilik penginapan membuka pintu dengan kasar, berkacak pinggang dan bertanya dengan kasar, "Ada perlu apa?" Yusuf pun menjelaskan bahwa ia dan isterinya yang sedang mengandung menginginkan sebuah kamar. Dave kemudian membentak, "Tidak ada tempat kosong!" Yusuf dan Maria pun berlalu pergi dengan wajah sedih.

Saat itulah kemudian terjadi pementasan diluar skenario, tiba-tiba Dave mengejar pasangan Yusuf dan Maria dan berkata, "Tunggu dulu.." (sutradara dan para pemain yang lain sudah jadi tegang karena bingung dengan apa yang dilakukan Dave, berpikir apakah ia lupa dengan perannya) Dengan air mata menggenang dipipinya, Dave menepuk pundak Yusuf sambil berkata "Kamar di penginapan yang kusewakan memang sudah penuh, tetapi ada 1 kamar, yaitu kamarku kosong, kalian berdua bisa menempatinya!" Dave ternyata seorang pemilik penginapan yang lembut hati, yang tak tega menolak bayi Yesus meski hanya dalam pementasan drama sekalipun.

Begitu sulitnya menemukan Tuhan, demikianlah banyak orang religius berkata. Itu sebabnya untuk mencari Tuhan banyak orang pergi ke gua-gua menyendiri dan mengasingkan dari dunia. Namun ada diantara kita yang tidak sepaham dan berpendapat kalau mencari Tuhan ada di Gereja. Tetapi yang terjadi kadangkala di Gerejapun kita tidak menemukannya. Tuhan ada dimana-mana. Tuhan juga menyatakan diriNya kepada pemilik penginapan tetapi waktu itu dalam rupa bayi yang masih dalam kandungan seorang wanita yang termarginal, hanya karena mata hati yang buta, ia tidak melihat. Tuhan seringkali menyatakan diriNya dalam diri orang yang terbuang dan terpinggirkan. Hanya saja kita buta, tidak peka dan mengeraskan hati untuk memberikan kasih kepada mereka, padahal saat itulah kita berjumpa dengan Tuhan.

Tidak menemukan Tuhan di Gereja karena kepentingan datang ke gereja adalah mencari kekuatan atau kemampuan supranatural untuk mendapatkan berkat yang besar, sehingga dapat memberi sesuatu untuk gereja, bukan Tuhan. Gereja masih punya hajatan sendiri, karena membangun gereja yang besar dan kokoh dalam lingkungannya, dimana "misi" mereka telah dibuka di mana-mana. Menjaring dengan hebat, karena membuka di daerah-daerah kota besar -- yang nota bene banyak gereja di sana -- menjadi misionaris tidak perlu susah-susah lagi, karena cukup membuat acara besar dengan gemerlap dan kekuatan panggung yang besar, sehingga menarik "jiwa-jiwa" baru. Memindahkan kolam yang kecil menuju kolam yang besar dan lengkap. Ini pertumbuhan gereja. Kalau membangun gereja di luar itu, menjadi pendeta atau misionaris yang miskin dan kasihan. "Menginjil" adalah membuat orang kristen menjadi "Lebih Kristen". Ternyata ayat kita harus diubah, karena begitu besar maksud Allah untuk kerajaan-Nya, Ia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya mencari orang percaya lainnya, untuk menjadi satu kerajaan yang besar bagi mereka sendiri (terjemahan bebas Yohanes 3:16 dalam kekinian).

Selamat natal dan selamat merenungkan dan masuk alam nyata.

Kekristenan adalah kemewahan dan kemabukan. Kekristenan adalah jenjang berkarier yang sukses. :p

-- cerita ilustrasi diambil dari : renungan harian dan bonus handbook "Spirit" edisi Desember 2005, karangan Petrus Kwik, Solo --

Natal adalah Pengorbanan


Sebagian besar dari antara kita, kalau yang wanita ingin menjadi Maria dan sebagian lagi, yang pria ingin menjadi Yusuf. Bukankah hebat menjadi Ayah / Bunda dari sang Mesias. Begitu bangga dan kerennya melihat kenyataan Juru Selamat hidup dalam asuhan kita. Belum lagi kenyataan sekarang ini Maria dipuja oleh milyaran orang di dunia sampai sekarang ini. Mimpi apa Maria sehingga dari seorang perawan sederhana tiba – tiba menjadi populer? 

 Apa yang diperbincangkan banyak orang ketika melihat Maria, seorang perawan, yang pasti belum bersuami tiba – tiba hamil. Bagaimana perut yang mulai membesar tak bisa lagi disembunyikan. Maria harus menelan pil pahit, namanya dipergunjingkan banyak orang "diluar terlihat alim, tapi ternyata" atau semisal di bangsa ini bisa dikatakan "dihamili roh halus". Para tetangga tak ada sepinya menggosipkan kabar bahwa ada seorang perawan dengan perut yang menggelembung besar paling tidak selama 9 bulan.   Bagaimana Yusuf harus bergumul mengalahkan keraguan, kecurigaan bahwa tunangannya ternyata tidak setia, selingkuh, main gila dengan pria lain. Bahkan di saat Yusuf bertahan pada pilihannya, namanya juga turut tercoreng karena bisa saja banyak orang menyimpulkan bahwa dia melakukan hal yang tidak senonoh sebelum nikah? 

Yusuf dan Maria adalah orang-orang yang berani berkorban demi rencana keselamatan bagi umat manusia terjadi. Natal juga menyiratkan bahwa Bapa berkorban merelakan AnakNya yang tunggal tak berdosa, berada dalam asuhan manusia biasa dan bahkan mati menanggung dosa manusia.

Natal adalah kelahiran Tuhan yang solider. Bukan kelahiran Tuhan yang miskin tetapi rendah hati.


Flp 2:7  melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri (But made himself of no reputation-KJV),
            dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 

Allah rela meninggalkan 'zona nyaman', solider dengan manusia (dari bahasa Latin, dare: memberi; solus: diri). Dia Raja diatas segala raja, tidak lahir di istana yang megah, tetapi memilih lahir dari keluarga tukang kayu bukan dari kalangan bangsawan. Di Betlehem, sebuah desa kecil yang tak populer dan bukannya di Ibukota. Bukan dibaringkan di spring bed kualitas nomor 1, tapi diletakkan di palungan. Tidak diselimuti dengan wol, sebagai gantinya hanya kain lampin. Bukan dalam penyambutan yang meriah dan semarak, melainkan memilih lahir di tengah kesunyian. Sedemikian miskinkah Yusuf dan Maria sehingga Mesias harus lahir dalam keadaan seperti itu? 

Tentunya peristiwa Natal-kelahiran Yesus, mencerminkan kesederhanaan bukan menggambarkan Yesus yang miskin. Kalau Yusuf dan Maria miskin, tentu mereka tak akan mendatangi penginapan. Mereka punya uang untuk tidur di hotel, tetapi hotel sudah full atau hotel tidak mau menanggung resiko melihat Maria sudah hamil tua seperti itu. Kelahiran Yesus bahkan hidup Yesus dari kandang Betlehem sampai di Kalvari sesungguhnya merupakan cerminan dari rentetan solidaritas Allah yang satu -yang setuntas – tuntasnya dengan manusia yang berdosa dan miskin- ke solidaritas yang lain.   

Karena itu setiap orang Kristen yang setiap hari hidupnya tidak dijiwai semangat Natal (Luk 2:11  Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.) -yaitu menutup mata, telinga, mulut, hati dan indra lainnya terhadap persoalan kemanusiaan, yang membeda–bedakan orang- sesungguhnya tidak pantas disebut orang Kristen.   

Keberadaan jemaat Indonesia masih banyak yang adalah "zoon economicos" atau binatang yang mencari uang untuk kebutuhan mereka sendiri, seperti membangun menara gereja, membangun interior gereja dan membuat gereja supaya nyaman, sehingga pendeta berdoa bagi mereka untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi dan kembali keuntungan berada pada pemimpin gereja yang ada. Mereka masih menjadi "tamu" bagi bangsa sendiri, karena dari minggu sampai ke minggu berikutnya mereka menjadi masyarakat gereja lokal dan melayani di gereja lokal. Melayani adalah aktif di gereja dan persekutuan yang ada di dalam gereja. Gereja menjadi satu tembok yang besar untuk membuat setiap orang tidak mungkin keluar dari tembok tersebut. Kalau keluar mereka telah berkhianat kepada gembala dan "Tuhan" mereka. Padahal Yesus menginginkan anak – anakNya/murid – muridNya memiliki solidaritas seperti diriNya. Kasih (baca: solider) itu harus menjadi identitas anak – anakNya, mengasihi itu sampai pada mengampuni dan sebuah keputusan yang tidak dipengaruhi 'kondisi luar' karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rom 5 : 5).   

Selamat Natal dan solider dengan sesama (Mat 22 : 36 – 40)

-- inspirasi dari tulisan : Tom Saptaatmaja, Menyambut Natal 2004: Kembali ke Makna Sejati, Jawa Pos 25 Desember 2004, hal.4  --